Powered By Blogger

Friday, July 30, 2010

Orang bertaqwa tidak pernah miskin

Assalamualaikum,

Innal hamdulillah, nahmaduhu wa nasta’eenuhu wa nastaghfiruh, na’udhu billahe min shurure anfusinaa wa sayyi’aate A’maalena:
Man yahdihillah, fahuwal muhtad,
Wa man yudhlil fa lan tajida lahu waliyyan murshidaa,
Wa ash-hadu an laa ilaaha illah wahdahu laa sharika lah,
Wa ash-hadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh,Allahumma sale ala Muhammaden wa aale Muhammad wa sallama tasleeman kathira.


amma ba'du,

ARTIKEL YANG MENARIK DAN DIGALAKKAN MEMBACA
__________________________________________
Daripada: Muhammad Abduh Tuasikal

Berikut pelajaran berharga yang kami peroleh dari penjelasan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Semoga bermanfaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat.
Sebagian orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah merasa fakir (miskin atau merasa kekurangan) sama sekali.” Lalu ada yang bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Karena Allah Ta’ala berfirman:
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)”
Kemudian ada yang bertanya kembali, “Kami menyaksikan sendiri bahwa di antara orang yang bertakwa, ada yang tidak punya apa-apa. Namun memang ada sebagian lagi yang diberi banyak rizki.”
Jawabannya, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang bertakwa akan diberi rizki dari jalan yang tak terduga. Namun ayat itu tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa tidak diberi rizki. Bahkan setiap makhluk akan diberi rizki sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Huud: 6). Bahkan hamba yang menerjang yang haram termasuk yang diberi rizki. Orang kafir tetap diberi rizki padahal rizki itu boleh jadi diperoleh dengan cara-cara yang haram, boleh jadi juga dengan cara yang baik, bahkan boleh jadi pula diperoleh dengan susah payah.
Sedangkan orang yang bertakwa, Allah memberi rizki pada mereka dari jalan yang tidak terduga. Rizkinya tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara yang haram, juga tidak mungkin rizki mereka dari yang khobits (yang kotor-kotor). Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin dihalangi dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi dunia yang berlebih sebagai rahmat dan kebaikan padanya. Karena boleh jadi diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya. Sedangkan disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda halnya dengan keadaan manusia yang Allah ceritakan,
{ فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ } { وَأَمَّا إذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ } { كُلًّا }
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16)
Senyatanya tidak demikian. Belum tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia berarti dimuliakan. Sebaliknya orang yang disempitkan rizkinya, belum tentu ia dihinakan. Bahkan boleh jadi seseorang dilapangkan rizki baginya hanya sebagai istidroj(agar ia semakin terlena dengan maksiatnya). Begitu pula boleh jadi seseorang disempitkan rizkinya untuk melindungi dirinya dari bahaya. Sedangkan jika ada orang yang sholih yang disempitkan rizkinya, boleh jadi itu karena sebab dosa-dosa yang ia perbuat sebagaimana sebagian salaf mengatakan,
إنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki untuknya karena dosa yang ia perbuat.
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barang siapa yang memperbanyak beristighfar, maka Allah pasti akan selalu memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[1]
Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa kebaikan itu akan menghapus kejelekan, istighfar adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan, sedangkan maksiat adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan. (Kita dapat menyaksikan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut ini).
Allah Ta’ala berfirman,
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (1) أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ (2) وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya” (QS. Huud: 1-3)
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-,niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
{ وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا } { لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ }
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” (QS. Al Jin: 16-17)
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al Maidah: 66)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’: 79)
{ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ } { فَلَوْلَا إذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }
Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 42-43)
Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam kitabnya bahwa Dia akan menguji hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang dimaksud adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini dimaksudkan agar hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan bersyukur. Dalam hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَقْضِي اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدِ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi seorang mukmin suatu ketentuan melainkan itu baikk baginya. Hal ini tidaklah mungkin kita jumpai kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa suatu bahaya, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.
Demikian penjelasan dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (16/52-54). Semoga bermanfaat dan dapat sebagai penyejuk hati yang sedang gundah.
___________
[1] Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Syaikh Al Albani. Lihat Dho’iful Jaami’ no. 5471

Sunday, July 25, 2010

Sifat wajah bagi Allah: menurut dalil al-quran dan as-sunnah


Assalamualaikum,

Innal hamdulillah, nahmaduhu wa nasta’eenuhu wa nastaghfiruh, na’udhu billahe min shurure anfusinaa wa sayyi’aate A’maalena:
Man yahdihillah, fahuwal muhtad,
Wa man yudhlil fa lan tajida lahu waliyyan murshidaa,
Wa ash-hadu an laa ilaaha illah wahdahu laa sharika lah,
Wa ash-hadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh,Allahumma sale ala Muhammaden wa aale Muhammad wa sallama tasleeman kathira.


amma ba'du,


Ayat Yang Menetapkan Sifat Wajah bagi Allah:

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

1 – “Dan tetap kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (Surah ar-Rahman, 55: 27)

2 – “Setiap sesuatu akan binasa, melainkan wajah-Nya (Allah)” (Surah al-Qashash, 28: 88)

Pengertian wajah pada satu keadaan boleh merujuk kepada sifat dzatiyah dan boleh juga merujuk kepada Allah sendiri (Diri-Nya). Ini dapat dilihat kepada banyaknya dalil-dalil berkenaan dengannya. (Boleh juga merujuk Tafsir Ibnu Katsir, 6/831-832)

Menurut Syaikh al-Uthaimin rahimahullah:

“Allah akan tetap abadi (kekal) dengan sendiri-Nya dengan penetapan wajah bagi Allah... Dengan ketetapan ini juga, kita katakan, (dalil) “Setiap sesuatu akan binasa, melainkan wajahnya” adalah melainkan Dzat-Nya yang bersifat wajah, maka yang demikian tidak mengapa. Maka, kita katakan, yang dimaksudkan dengan Wajah adalah dzat, kerana Dia memiliki wajah. Maka, dengannya diungkapkan Dzat (bagi-Nya).” (Rujuk: Ibnu Uthaimin, Syarah al-Aqidah al-Wasyithiyah, m/s. 258)

Adapun wajah, ertinya telah diketahui, walaubagaimana pun kita tidak dapat mengetahui keadaannya. Sebagaimana semua sifat-sifat-Nya yang lain, kita tetap beriman bahawa Dia memiliki wajah yang bersifat agung dan mulia. Juga bersifat indah, agung, dan cahaya yang agung. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Penghalang (hijab)-nya adalah cahaya. Jika dibuka sudah tentu keindahan dan keagungan wajah-Nya akan membakar segala sesuatu dari makhluk-Nya sejauh pandangan-Nya.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab al-Iman, 1/162)

Juga doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Aku memohon kepada-Mu lazatnya melihat kepada Wajah-Mu yang Maha Mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu.” (Hadis Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, 1/185. al-Hakim, 1/524, dengan katanya sanadnya sahih, juga disepakati oleh adz-Dzahabi. Juga turut disahihkan oleh al-Albani, Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 1/279, no. 1310)

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam kitabnya, Kitabut Tauhid, 1/25, ketika menyentuh sifat al-Wajhu bagi Allah, beliau berkata:

“Kami dan semua ulama dari Hijaz, bahagian Barat Daya Jazirah Arab, Yaman, Iraq, Syiria, dan Mesir, dari mazhab kami. Menetapkan bagi allah apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, mengakui dengan perkataan kami dan meyakini dengan hati kami, untuk tidak menyamakan wajah Pencipta kami dengan makhluk-makhluk-Nya, Tuhan kami lebih mulia untuk disamakan dengan makhluk-makhluk dan lebih Agung daripada perkataan orang-orang atheis.”

Oleh itu, kita katakan “Wajah itu adalah wajah yang Agung, tidak mungkin untuk kita selama-lamanya menyamai wajah-wajah makhluk-Nya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Surah asy-Syura, 42: 11)

Jika seseorang berusaha dengan bersungguh-sunggug untuk menggambarkan bentuk tersebut (sifat-sifat Allah) dengan hatinya atau mengatakan berkenaan dengannya dengan lisannya, maka kita katakan, “Engkau pembuat bid’ah yang sangat sesat. Kamu berbicara tentang Allah dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui.” Allah telah mengharamkan bagi kita untuk mengatakan tentang-Nya dengan sesuatu yang tidak kita ketahui.

Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta bertanggungjawab ke atasnya.” (Surah al-Isra’, 17: 36))

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, sama ada yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah baginya dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.” (Surah al-A’raaf, 7: 33) (Rujuk: Ibnu Uthaimin, Syarah al-Aqidah al-Wasyithiyah, m/s. 252)

Imam Abu Hasan al-Asy’ary rahimahullah berkata berkenaan sifat Wajah, dua Mata, Penglihatan, dan Dua Tangan bagi Allah:

“Di sini Allah mengkhabarkan bahawa Dia memiliki wajah dan dua mata, jangan kamu tanyakan kaifiyatnya dan jangan kamu ingkari ia.” (Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, m/s. 147)

Berkenaan ayat:


وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


Maksudnya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (al-Baqarah, 2: 115)

Ayat ini menjadi perdebatan dari kalangan para ahli Tafsir. (Rujuk: Ibnu Uthaimin, Syarah al-Aqidah al-Wasyithiyah, m/s. 256)

Di antara mereka ada yang menyatakan, “Wajah membawa erti kepada arah.” Ini adalah berdasarkan firman Allah:

“Dan bagi setiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang mereka menghadap kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (al-Baqarah, 2: 148)

Maka, yang dimaksudkan dengan wajah Allah adalah arah. Dengan kata lain, maka di situlah arah Allah. Atau ke arah mana pun Anda menghadap dalam solat, Allah akan tetap menerima solat anda.

Mereka juga menyatakan, Disebabkan ayat tersebut turun ketika dalam perjalanan (musafir). Jika mereka menunaikan solat sunnah (nafilah), maka mereka akan menunaikan solat tersebut dengan menghadap ke arah mana pun. Atau ketika mana arah kiblat tidak jelas bagi mereka, maka seseorang itu perlu berhati-hati, lalu menunaikan solat dengan menghadap ke arah mana pun.

Akan tetapi, yang lebih tepat yang dimaksudkan dengan Wajah di sini adalah Wajah Allah yang sebenar-benarnya, iaitu ke arah mana pun anda menghadap, maka di situlah Wajah Allah, kerana Allah meliputi segala sesuatu. Juga telah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahawa jika seseorang yang menunaikan solat telah berdiri dengan niat (solat), dan ternyata sebenarnya kiblat adalah arah yang bertentangan dengan tempat dia menghadap, maka Allah di hadapannya.

Inilah yang tepat seiring dengan makna lafaz dari zahir ayat.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi berkata di dalam Tafsirnya:

“Di sanalah Allah Ta’ala kerana Allah Maha Meliputi segala makhluk-Nya. Dengan sebab itu, ke mana pun seseorang hamba menghadap, maka dia akan mengarah kepada Allah. Kerana Allah di sisinya. Bagaimana tidak, Allah Ta’ala sendiri yang memberi tahu kemampuannya bahawa bumi berada pada genggaman tangan-Nya, langit akan digulung dengan tangan kanan Allah pada hari kiamat, kerana itu tiada satu arah pun yang terlepas dari pengetahuan dan liputan (pengawasan) Allah serta kekuasaannya. Perkara ini ditegaskan dengan firman-Nya (yang selanjutnya), “Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” iaitu Maha Luas Dzat-Nya, ilmu-Nya, Kurnia-Nya, Kemuliaan-Nya, dan Maha Mengetahui (segala sesuatu).” (Rujuk: Tafsir al-Aisar)

Maka, perlu difahami melalui ayat ini bahawa sebenarnya ianya jelas menunjukkan kemampuan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu dengan kelayakan dan keagungan yang sesuai bagi-Nya. Dan jika kita cuba membayangkan berkenaan dengan “bagaimana Allah boleh berada di hadapan setiap orang pada suatu masa” sekaligus mengatakan ayat ini perlu ditakwil, maka sebenarnya dia telah cuba membayangkan dan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Surah asy-Syura, 42: 11)

Maka, apa yang wajar kita tetapkan (bagi Allah) adalah menetapkan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Kitab-Nya dan Rasul-Nya.

Janganlah kita menjadi orang yang kafir (ingkar) dengan ayat-ayat Allah lalu kita menyelwengkan semahu hati kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“... dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa.” (Surah al-Baqarah, 2: 41)

Perlu juga kita sedar dan fahami bahawa pengetahuan dan kemampuan kita adalah sangat-sangat terhad di mana terlalu banyak yang tidak mampu untuk kita jangkau serta fikirkan.

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman:

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, manakala ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Surah Thaha, 20: 110)

_______________________________________________
Rujukan:

1 - Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah. (Edisi terjemahan: Pustaka at-Tibyan, Indonesia)

2 – al-Mishbahul Munir fi Tahdzibi Tafsiri Ibni Katsir, Pustaka Ibnu Katsir.

3 – Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Aisar.

4 - Ibnu Uthaimin, Syarah al-Aqidah al-Wasyithiyah, Darul Falah.

5 – Alawy Abdul Qadir as-Saqqaf, Shifatullah ‘Azza wa Jalla al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, Darul Hijrah, Riyardh, 1994.

6 – Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais, I’tiqad Ahlissunnah Ashhab al-Hadis, Dar al-Ushaimi lin Nasyr wat Tauzi’. (Edisi terjemahan: Darul Haq, Indonesia) [/align]







Wasalam.